Tadi pagi, ketika masuk ke kantorku, aku tercenung melihat akuariumku yang airnya tinggal seperempatnya. Memang sudah tak ada ikannya. Mati sejak berminggu-minggu yang lalu. Selama berminggu-minggu pula, aku membiarkannya seperti itu. Berpura-pura masih ada ikannya. Bahkan aeratornya pun masih hidup, mensuplai oksigen untuk batu-batu kecil dan tanaman plastik di dalamnya. Karena akuarium itu kuletakkan di sisi belakangku, aku jarang menghadap ke arahnya. Mungkin karena itu, selama berminggu-minggu terakhir ini, aku bisa membayangkan ia masih cantik dengan ikan-ikan kecil berenang naik turun diantara gelembung-gelembung oksigen dari aerator.
Tapi pagi tadi berbeda. Masih ada lima belas menit sebelum mengajar. Aku duduk menghadapnya dan merasa rindu pada akuariumku yang dulu, yang bening dengan ikan-ikanku yang riang. Aku ambil tumblerku dan minum seteguk. Tiba-tiba aku jadi sulit menelan. Ada rasa sedih yang amat sangat dan tiba-tiba. Dua menit berikutnya aku menangis. Entah menangisi ikan-ikanku yang mati atau kepura-puraanku.
Aku coba mengingat-ingat, sebenarnya apa yang sudah kulakukan sampai ikan-ikanku mati. Mungkinkah karena tak setiap hari kujenguk? Dulu meski aku tidak setiap hari datang, ada tanaman air yang bisa dimakan ikan-ikanku. Hingga tinggal akarnya saja. Satu per satu ikanku mati. Sampai yang terakhir bertahan beberapa hari sebelum akhirnya mati juga. Mungkin dia kesepian.
Mungkin juga ikanku mati karena aku terlalu mengkhawatirkannya, memberinya makanan terlalu banyak. Apapun kalau terlalu banyak katanya tak baik.
Sepuluh menit sebelum mengajar, aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan berminggu-minggu yang lalu, mematikan aerator, mengangkat akuarium itu dan membuang airnya ke wastafel sampai tetes yang terakhir. Kuletakkan akuarium itu di atas meja. Kuelus permukaannya yang berkabut. Tapi batu-batu kecil warna-warni dan tanaman plastik di dalamnya masih terlihat jelas. Ada perasaan sayang ketika tanganku menyentuh bagian atasnya yang bergelombang. Sedikit terasa kasar dan berdebu. Aku menghela napas panjang. Inilah kenyataannya. Akuariumku tak lagi cantik bening dengan ikan-ikan berenang dengan bahagia di dalamnya. Akhirnya aku berani melihatnya, dan menyentuhnya.
Kupandangi lagi akuarium di mejaku sebelum menutup pintu untuk mengajar. Hari ini aku tak bisa temaninya. Tapi besok aku akan datang dengan ember dan spons untuk membuatnya cantik lagi. Akan kubawakan ikan-ikan mungil dan ganggang hijau untuk menemaninya. Ya, kurasa itulah yang akan kulakukan. Setidaknya ada dia yang akan menemaniku ketika aku rindu membaca puisi-puisinya. Dia, yang suatu sore membawakan akuarium itu dengan senyum lebarnya.
hn – 16/10/2013